TRAGEDI BASRAH
Ali
bin Abu Talib, sahabat/menantu rasulullah yang memiliki banyak kelebihan
antara lain; wali rasulullah, pemimpin dunia akhirat, pintu kota ilmu
(dimana Rasulullah bagaikan kota ilmu), dijamin memasuki surga, dan
sederet gelar lainnya.
Demikan juga Aisyah binti
Abu Bakar, yang memiliki gelar Ummul Mukminin istri tercinta Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Istri rasulullah di dunia dan di akhirat,
meriwayatkan ribuan hadist Imam buchari Muslim, juga keutamaan Aisyah
yang disejajarkan dengan Maryam binti Imron dan Asiyah istri Fir’aun,
bahkan rasulullah meninggal dipangkuannya, dijamin masuk surga, dan
sederet keutamaan lainnya.
Kisah ini bermula dari
terbunuhnya Usman bin Affan akibat ulah pemberontak di Basrah dan Kufah
yang menyerang Madinah. Ali yang demikian membela Usman bin Affan, turut
dikepung, bahkan beliau kesulitan memakamkan Usman, hingga akhirnya
Jenazah Amirul Mukminin Usman bin Affan dikebumikan tengah malam yang
gelap secara diam-diam dan dihadiri oleh sedikit orang.
Kejadian
ini terjadi saat bulan suci, ketika Aisyah umul mukminin sedang
memimpin jamaah haji dari Madinah. Beliau diliputi kemarahan dan
kesedihan atas kematian Usman. Pengganti khalifah selanjutnya terpilih
Ali. Aisyah kemudian kembali lagi ke Mekah menghindari fitnah yang ada.
Atas
usul Talhah dan Jubair Aisyah berangkat menuju Basrah, dengan tujuan
mengajak orang-orang untuk menuntut pembunuh Usman. Walau sebenarnya ada
yg menasihatinya untuk tidak melakukan itu, yakni Mugirah bin Syu’bah.
Bahkan setelah sampai di suatu daerah namanya Hau’ab. Aisyah sebenarnya
ingin kembali Namun Abdullah bin Zubair behasil mebujuknya untuk
meneruskan perjalanan. Di Basrah Aisyah mendapat perlawanan dari
Gubernur Basrah yang tidak mengizinkannya masuk kota.
Sementara
itu, Di Iraq Imam Ali mendapat perlawanan dari Muawiyah gubernur Syam
yang tak mau membaiatnya dengan alasan sebelum menangkap pembunuh Usman
ia (Muawiyah) tak akan membaiatnya, namun di Basrah perang saudara
hampir meledak maka Imam Ali menunda berangkat menuju Muawiyah di Syam
(suriah) dan pergi ke Basrah.
Saat Aisyah
Umulmukminin masih berpidato, meledak perkelahian dan berujung perang,
yang hanya disebabkan perang mulut antara kubu Aisyah dengan kubu
Basrah. Dan Aisiyah berhasil mendamaikannya dengan dibuatnya gencatan
senjata antar dua kubu ini. Permasalah ini ternyata tidak selesai,
karena beredar kabar yang tidak jelas dari mana sumbernya yang
menyatakan: “kalau kita menunggu sampai Ali datang, ia akan menghukum
kita!”. Pertempuranpun kembali lagi terjadi sehingga makin banyak
korban kedua belah pihak yang berjatuhan. Gubernur Basrah terdesak dan
tertangkap, Hakim bin Jabalah dan pengikut-pengikutnya terbunuh dan
akhirnya Basrah dikuasai kubu Aisyah.
Segera Ali
sampai di Basrah dengan banyak pasukan dengan tujuan untuk menenang
penduduk Basrah serta berencana untuk berdamai dengan Aisyah, Imam Ali
berkata pada pengikutnya bahwa disana kita tidak boleh berperang, jika
mereka tidak mau mengikuti kita maka sebaiknya kita pulang agar tak
terjadi pertumpahan darah. Dan sebenarnya keduanya (Ali dan Aisyah)
tidak ada niatan untuk berperang.
Berawal dari
dengan terbunuhnya Zubair (Sahabat Nabi) di Wadi Suba’, tanpa diketahui
siapa pembunuhnya. Ali mendatangi tempat tersebut, dan memperlihatkan
kesedihan yg luar biasa. Ali mengambil pedang Zubair dan berkata “pedang
yang selalu menjauhkan bencana dari Rasulullah”. Setelah itu perangpun
pecah, karena Talhah mulai mengerahkan pasukan dan terus menerus
melawan pasukan Ali.
Sungguh sejarah yang sangat
memilukan melihat keluarga Rasulullah berperang, yang benayak
menumpahkan darah dan nyawa muslimin. Sungguh keterlibatan Aisyah dan
Ali dalam peristiwa tersebut membawa bencana bagi umat Islam.
pembangkangan
Muawiyah terus berlanjut yang berujung Tahkim (perundingan) dan
berakhir dengan kekalahan Ali yang menyerahkan kekuasaan ke khalifahan
kepada Muawiyah dan tamatlah riwayat Kulafaur Rusyiddin .
Ali
dan Aisyah adalah orang yang mulia dan sulit dicari tandingannya,
ternyata bisa juga membuat kesalahan. Apalagi kita yg ilmunya sangat
jauh dari mereka.
Kita perlu berkaca dari peristiwa
ini. Karena sungguh terbukti kebenaran itu mutlak milik Allah, dan yang
salah mutlak milik makhluknya (tidak boleh ada yang memonopoli
kebenaran hakiki).
Semoga bermanfaat untukku. Pekayon, 30 Jan 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar